Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama :
Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab
Syafi`iyah [12], Hanabilah [13] dan sebagian Malikiyah [14] rahimahullah, dan
dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.[15]
Pendapat Kedua : Khitan
itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah [16], pendapat
Imam Malik [17] dan Ahmad, dalam satu riwayat [18] rahimahullah.
Pendapat Ketiga : Khitan
wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu
riwayat dari Imam Ahmad [19], sebagian Malikiyah[20] dan Zhahiriyah [21]
rahimahullah.
DALIL-DALIL
Dalil pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan
Kitab, Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذِ ابْتَلَى
إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ … الأية
“Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)”.[al
Baqarah : 124].
Catatan: Sesungguhnya,
khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum berlaku dalam hal yang wajib.[22]
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. Dan bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan”.
Catatan: Khitan termasuk
ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu termasuk dalam keumuman perintah
untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang
memalingkannya [23].
b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku telah masuk
Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah [24]”.
Sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam “berkhitanlah”, adalah ‘amr (perintah); dan ‘amr, hukum
asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada satu orang, juga mencakup yang lainnya, hingga ada
dalil pengkhususan.[25]
Dan juga mereka berdalil
sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia berkata: “Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa masuk Islam, maka
berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'[26].”
Sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam “maka hendaklah berkhitan”, adalah ‘amr; dan asal hukum ‘amr,
wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Barangsiapa yang masuk Islam”, lafadznya umum, mencakup laki-laki dan
perempuan.
c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Al aqlaf (yaitu orang yang
belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan
sembelihannya”[27].
d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari
beberapa aspek.
Pertama : Diperbolehkan
membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan merupakan hal yang wajib,
niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal yang bersifat darurat dan
bukan pula untuk berobat.[28]
Kedua : Kulit zakar
dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan kewajiban ketika
beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali dengan khitan.
sehingga jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna
sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib [29].
Ketiga : Orang tua
sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan, dapat menyebabkan
kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya
tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak
diperbolehkan [30].
Keempat : Sesungguhnya
dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa, tidak disyariatkan kecuali
tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau untuk melaksanakan sebuah
kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang pertama, sehingga jadi
tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.[31]
Sedangkan istidlal
(dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah
wajib seperti memotong tangan pencuri [32]
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib
sebagaimana hukum syiar Islam yang lain [33].
Dalil pendapat kedua,
yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil
dengan Sunnah.
Hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya
berkhitan …”. [34]
Catatan : Maksud dari
fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah dan tidak wajib. Oleh
karena khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib seperti istihdad (mencukur
bulu kemaluan).[35]
Sebagaimana yang datang
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita”
[36].
Catatan : Hadits ini
menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan
keutamaan bagi wanita.
Dalil pendapat ketiga,
mereka lebih memerinci sebagian dalil yang dikatakan oleh pendapat pertama,
yaitu yang mengatakan wajib berkhitan bagi laki-laki dan wanita.
Mereka berkata,”Khitan
bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia tidak berkhitan, maka kulit yang
menjulur pada ujung zakar dapat menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita
lebih ringan. Maka jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi
wanita.”[37]
KESIMPULANNYA.
Pertama. Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang
telah disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam
Ibnul Qayyim rahimahullahn[38].
Kedua. Pendapat pertama
dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan laki-laki, sedangkan hukum
khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat.
Ketiga. Laki-laki
diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat jumhur, sebagaimana
terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini yang lebih
menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu sunnah,
wallahu a`lam.
Sedangkan apa yang
disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
maka dapat kita jawab, jika kita menerima alasan mereka bahwa makna fitrah
adalah sunnah, bukan berarti khitan tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada
yang hukumnya wajib dan ada yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang
terkandung dalam syariat. Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini
merupakan istilah baru.[39]
Keempat. Sedangkan
khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya wajib, karena wanita
adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam hukum.
Alasan yang membuat
penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena dengan berkhitan, seorang
wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu dapat membantu untuk iffah (menjaga
kehormatan). Dan menjaga kehormatan sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana
kesucian zhahir menjadikan khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga
kesucian jiwa, menjadikan khitan itu wajib atas wanita.[40]