DEFINISI KHITAN
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh. [1]
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh. [1]
Adapun dalam istilah
syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi
laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga
dengan klitoris bagi wanita.[2]
KHITAN, SYARIAT NABI
IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى
إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang
lalim”. [al Baqarah : 124].
Khitan termasuk fitrah
yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ :
الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ
الشَّارِبِ
“Lima dari fitrah yaitu
khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku
dan mencukur kumis”.[3]
Di dalam Musnad Ahmad
dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : ”Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebagian dari fitrah adalah:
berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak,
memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad,
khitan dan bersuci”.[4]
Maksud dari fitrah
adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi kesempurnaan
sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah
syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh
fitrah.
Menurut Ibnul Qayyim
rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan
dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai serta
mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal
yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu,
sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta
saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.[6]
Khitan bermula dari
ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan
[7]. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ibrahim berkhitan setelah
berumur delapan puluh tahun”.[8]
Setelah Nabi Ibrahim
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua
rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih, bahwa dia juga
berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan tersebut,
sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang penghasilan
hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai
kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak
berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan “puasa
besar”.[9]
HIKMAH DAN FAIDAH
KHITAN[10]
1. Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin, menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
1. Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin, menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ
“Shibghah Allah. Dan
siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?” [al Baqarah : 138].
2. Sebagai tanda
‘ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dahulu, bahwa memberi
tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya sebagai pertanda penghambaan
diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari dari majikannya, ia
dikembalikan kepadanya melalui perantara tanda tersebut. Maka tidak ada yang
mengingkari, barangsiapa yang telah berkhitan dengan memotong kulit tersebut,
berarti dia telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga semua orang mengetahui, barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia
adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4. Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5. Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.
3. Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4. Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5. Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ
اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا
النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ
وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
“Dalam hadits Ummu
`Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Janganlah dihabiskan.
Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami” [11]
6. Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang yang berkhitan.
6. Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang yang berkhitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar