Senin, 27 November 2017

Waktu berhitan



Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.[41]
 
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu [42].
Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: “Abdullah bin Abbas ditanya ‘Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal?’, ia menjawab,’Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh’.[43]
Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44], yakni masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.
Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)”.
Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad): “Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?” Beliau memakruhkannya sambil berkata: “Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah” [47].
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,’Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a’lam’.”

ORANG YANG TIDAK PERLU DIKHITAN
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: “Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,’Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian”. [48]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana.”[49]
Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan untuk tidak berkhitan.
Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.
Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.[50]

BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid’ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa shalallahu wa sallam ‘ala Muhammadin tasliman katsira, wa akhiru da’wana, al hamdulillahi Rabbil ‘alamin
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar