Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.[41]
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia
baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan
sebelum itu [42].
Di dalam hadits, Said
bin Jubair berkata: “Abdullah bin Abbas ditanya ‘Berapa usia engkau ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal?’, ia menjawab,’Aku waktu
itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat
baligh’.[43]
Kedua : Waktu yang
dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44], yakni masa ketika seorang
anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang
diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.
Para ulama berselisih
berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan?
Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri,
Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya
nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi?
Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)”.
Kedua : Tasyabbuh
(meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad):
“Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?” Beliau memakruhkannya sambil berkata:
“Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah”
[47].
Sebagian membawanya
kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan
alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi
membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata,”Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,’Ibrahim mengkhitan
Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah
khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail
menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a’lam’.”
ORANG YANG TIDAK PERLU
DIKHITAN
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Pertama : Seseorang yang
dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu
dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin
(belakangan) berkata: “Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang
dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,’Jika aku perintahkan, maka lakukan
semampu kalian”. [48]
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata,”Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah
dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena merupakan
perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan.
Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai,
maka tidak ada artinya bagi sarana.”[49]
Kedua : Jika seseorang
tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau sudah tua,
dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan kelemahan
tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan untuk
tidak berkhitan.
Ketiga : Seseorang masuk
Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum khitan
jatuh darinya menurut jumhur.
Keempat : Seseorang yang
meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena
khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang dengan
kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.[50]
BEBERAPA KESALAHAN DAN
KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid’ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid’ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa shalallahu wa sallam
‘ala Muhammadin tasliman katsira, wa akhiru da’wana, al hamdulillahi Rabbil
‘alamin
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183,
Telp. 0271-761016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar